Gereja Bethel
Injil Sepenuh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS)
adalah sebuah denominasi gereja di Indonesia. Dalam Bahasa Inggris
disebut Bethel Full Gospel Church of Indonesia. Merupakan anggota Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia No. 34. GBIS juga menjadi salah satu gereja pendiri
dan penopang Yayasan Pendidikan Kristen Petra dan Universitas Kristen Petra Surabaya
Daftar isi
1. Sejarah
2. Perpecahan GBIS
dan pembentukan GBI
3. Penyelesaian
Kerusuhan Melalui Menteri Agama
4. Pasca Kerusuhan
5. Pemuda Bethel
Injil Sepenuh (PBIS)
6. Wanita Bethel
Injil Sepenuh (WBIS)
7. Pranala luar
Kelahiran Gereja Bethel Injil Sepenuh diawali dengan
keluarnya Pdt. F.G Van Gessel dengan beberapa pendeta lainnya dari GPDI dan
membentuk Badan Persekutuan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Surabaya pada
tanggal 21 Januari 1952.
GBIS lahir dari satu kerinduan untuk mendapatkan kembali gereja,
bukan hanya sekedar sebagai satu organisasi gereja, namun juga sebagai organisme,
bersifat otonom dan memiliki jiwa fellowship.
Sejak kelahirannya, GBIS telah berkembang demikian cepatnya, sehingga dalam
waktu 15 tahun telah memiliki kira-kira 450 mata jemaat dengan 70000 anggota
yang tersebar di seluruh persada Nusantara. Sehingga dapat dikatakan, saat itu
GBIS telah menjadi organisasi Pentakosta tebesar ke-2 se Indonesia setelah GPdI.
Perpecahan GBIS dan pembentukan GBI
GBIS akan terus berkembang sangat pesat, apabila tidak
terjadi malapetaka yang menyakitkan, yaitu perpisahan dengan GBI. Perpisahan ini tidak
perlu terjadi, apabila BP-GBIS (saat itu) di bawah pimpinan Pdt. H.L Senduk
bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan "Church of God"
(COG), salah satu gereja Pentakosta yang besar di Amerika. Hubungan kerja sama
itu dituangkan dalam bentuk perjanjian peleburan (Amalgamation).
Perjanjian dengan COG ini menjadi awal kemelut dalam tubuh GBIS yang berakhir
dengan perpecahan GBIS dengan GBI pada tahun 1969 yang mencapai puncaknya saat
dikeluarkan keputusan Menteri Agama R.I. No. 68 Tahun 1970, di mana antara
antara lain diputuskan bahwa jemaat GBIS yang menolak perjanjian Amalgamation dengan
Church Of God, diakui sebagai badan persekutuan yang telah disahkan oleh
Kementerian Agama dengan keputusan no. A/VII/16, tanggal 31 Januari 1931.
Amalgamation dengan COG yang ditandatangani di Jakarta
oleh Dr. H.L. Senduk, Dr. The Sean King, Pdt. Ong Ling Kok, Pdt. A.l. Palealu
pada tanggal 5 Februari 1967, dan di Cleveland, Tennessee pada
tanggal 9 Maret 1967, telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh GBIS. Pihak
yang pro-Amalgamation menganggap bahwa hubungan ini adalah semata-mata hubungan
kemitraan belaka. GBIS tetap berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengn
COG. Hubungan kemitraan itni sebagai hal yang sangat menguntungkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan GBIS yaitu dengan menyediakan dana untuk membangun
seminar Bethel di Jakarta (yang sebenarnya milik GBIS), satu lembaga Alkitab
yang setara dengan Perguruan Tinggi.
Di lain pihak, mereka yang menolak atau menentang
perjanjian Amalgamation dengan COG menuduh bahwa BP-GBIS (waktu itu) telah
“menjual” GBIS kepada COG, dengan menjadikan GBIS sebagai “bagian” dari COG.
Itu berarti bahwa GBIS telah dilebur” dalam COG. Tuduhan tersebut tidaklah
berlebihan karena dalam naskah persetujuan yang ditandatangani oleh COG dan
GBIS di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1967 dan di Cleveland, Tennessee, USA,
tanggal 9 Maret 1967 memuat butir-butir persetujuan yang mengarah pada peleburan
antara GBIS dan COG. Bukti persetujuan adalah adalah sebagai berikut:
Nama “Gereja Bethel Injil Sepenuh”
(Bethel Full Gospel Church) dalam behasa Inggris, menjadi “Gereja Bethel Injil
Sepenuh Dari Allah” (Bethel Full Gospel Church of God).
Tiap Pendeta atau Missionari Church of
God yang sah yang akan melayani di Indonesia akan menjadi anggota Majelis Besar
Gerja Bethel Injil Sepenuh dari Allah dengan hak suara penuh, demikian juga
sebaliknya tiap Pendeta GBIS yang sah, menjadi anggota Majelis Besar dari
Church of God dengan suara penuh.
Pro-kontra amalgamation semakin berkembang dengan
munculnya isu-isu bahwa ada “aliran berkat” di balik perjanjian ini yang hanya
dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan "elite" BP. Konon
terbetik kabar bahwa jemaat-jemaat anggota COG secara periodic mendapat bantuan
dari COG berupa dana yang besarnya dihitung per kapita jumlah anggota jemaat
sesuai dengan yang telah ditentukan oleh COG. Akibatnya kecurigaan semakin kuat
bahwa tujuan amalgamation tersebut adalah untuk kelompok untuk mendapatkan
keuntungan materi belaka, yang dianggap hanya menguntungkan kelompok-kelompok
tertentu saja.
Apalagi Yayasan Bethel yang dibentuk dalam rangka
amalgamation tersebut pengurus-pengurusnya adalah “orang0orang dekat” Ketua BP.
Pertanyaan yang selalu muncul di antara petugas GBIS tersebut adalah ke mana
larinya dana dari COG tersebut. Sebab itu dapat dikatakan bahwa salah satu
penyebab pertikaian yang bersumber dari Perjanjian Amalgamation dengan COG
adalah “tidak adanya keterbukaan” dari BP-GBIS (saat itu) yang berkisar masalah
keuangan.
Penyelesaian Kerusuhan Melalui Menteri Agama
Dalam SMB X di Solo tanggal 21 Juni 1968 telah dicoba
untuk menjernihkan persoalan. Namun rupanya upaya tersebutpun belum mampu
menyelesaikan secara tuntas. Bahkan bayang-bayang perpecahan dalam tubuh GBIS
telah mulai nampak.
Karena dipandang Badan Penghubung GBIS telah melakukan
penyelewengan serta melanggar Tata Gereja, maka Badan Penasehat selaku badan
yang mengawasi kerja Badan Penghubung, mengadakan pertemuan di Parapat (Danau
Toba) dari tanggal 17 – 19 Juli 1969. Pertemuan Badan Penasehat ini dihadiri
oleh Pdt. J.L. Pardede (alm), Pdt. B.H. Pardede (alm), Pdt. J.S.A.O. Papilaya
(alm), Pdt. S. Chandrabuana Chr. (alm). Pdt. J. Setiawan (alm), Pdt. Bagenda
(alm), Pdt A. Simangunsong (alm). Dalam pertemuan Badan Penasehat/MUBAPEN yang
agak bersifat kontroversial di Parapat tersebut diputuskan untuk memecat Pdt.
Dr. H.L. Senduk dan kawan-kawan, dan selanjutnya menetapkan Pdt. J. Setiawan
selaku ketua BP-GBIS yang berkantor di Solo.
Segera muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh GBIS.
Kelompok pertama adalah "kelompok Jakarta" yang tetap mengakui Pdt.
Dr. H.L. Senduk selaku ketua BP-GBIS. Kelompok kedua adalah "kelompok
Solo" yang mengakui Pdt. J. Setiawan selaku ketua BP-GBIS. Selama beberapa
waktu, hampir setiap hari surat-surat dikirim ke seluruh petugas yang isinya
pernyataan-pernyataan dari kedua BP-GBIS, baik yang bersifat penjelasan maupun
yang bersifat “serangan” balik atas masing-masing pernyataan. Suasana
keprihatinan menguasai para petugas GBIS melihat terjadinya kemelut dalam Badan
Persekutuan yang sedang berkembang pesat ini. Di samping kelompok pro dan
kontra, masih ada kelompok lain yang memutuskan pindah ke organisasi lain,
misal GBIS Mojokerto, yang bergabung dengan GIA.
Oleh karena segala upaya untuk menyelesaikan tidak
berhasil, maka dengan terpaksa GBIS mencari keadilan pada pemerintah. Akhirnya
pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. campur tangan dalam penyelesaian konflik
intern GBIS tersebut dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 68 tahun
1970 tanggal 16 Mei 1970. Dengan terbitnya keputusan ini berarti Pdt. Dr. H.L.
Senduk harus meninggalkan GBIS (kelak Pdt. H.L. Senduk pada tahun 1970
mendirikan Gereja Bethel Indonesia/GBI), sementara Pdt. J. Setiawan diakui
sebagai ketua BP-GBIS. Satu perpisahan sangat menyedihkan memang, tetapi itulah
kenyataan sejarah GBIS. Namun yang sudah lalu biarlah berlalu. Setiap persoalan
yang pasti ada pelajaran indah yang Tuhan berikan kepada kita, agar kita
memulai babak baru dalam perjalanan GBIS pada masa-masa mendatang, dan kita
tidak jatuh untuk kedua kalinya dalam persoalan yang sama.
Sidang Majelis Besar pertama pasca perpecahan adalah
Sidang Majelis Besar (SMB) XII yang diadakan di Solo dari tanggal 6–8 Oktober
1970. SMB XII ini dihadiri oleh 168 pendeta dan pendeta pembantu. Ada rasa haru
dan sedih di hati para peserta. Rasa haru, karena Tuhan telah menyelamatkan
GBIS dari persoalan besar yang melilit, namun rasa sedih karena menghadapi
kenyataan, harus berpisah dari rekan-rekan sejawat justru saat GBIS dalam
perjuangannya membutuhkan kerja sama dengan semua rekan-rekan sepelayanan. Keputusan
pertama yang diambil adalah “mengesahkan keputusan Sidang Mubapen tahun 1969 di
Parapat sebagai keputusan Sidang Majelis Besar XII”. Dengan demikian Sidang
Muapen Parapat, yang diakui oleh 8 (delapan) pendeta, mendapat “pengakuan
yuridis” baik dari pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. maupun dari instansi
tertinggi GBIS, yaitu Majelis Besar.
Sidang Majelis Besar XII juga menetapkan :
1. Pdt. J. Setiawan
sebagai Ketua BP-GBIS.
2. Pdt. Gideon Soeprapto
sebagai Sekretaris.
3. Pdt. Dr. Pontas
Pardede sebagai ketua PPBSI.
4. Pdt. I. Kurniawati
sebagai ketua PWBIS.
Pasca perpecahan, GBIS tetap berjuang sekalipun
ditinggalkan oleh lebih dari setengah petugas-petugasnya. GBIS tidak pernah
berhenti berjuang sesuai dengan tugas dan panggilan yang Tuhan sudah percayakan
pada GBIS. GBIS tidak pernah berhenti untuk berjuang, dan itu semata-mata oleh
berkat pertolongan Tuhan.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970–2000, Badan
Persekutuan GBIS telah melaksanakan 11 (sebelas) kali Sidang Majelis Besar
untuk berfellowship, mengevaluasi serta menetapkan langkah-langkah GBIS ke
depan dalam tugas pelayanan di bumi pertiwi ini, di samping pula untuk
mengangkat, memberhentikan petugas GBIS dan tugas-tugas organisatoris lainnya.
Pemuda Bethel Injil Sepenuh (PBIS)
“Kebangkitan” Komisi Pemuda justru dimulai dari Jawa
Timur, saat beberapa tokoh pemuda GBIS Jawa Timur dan beberapa hamba Tuhan yang
masih muda dari GBIS. Mereka adalah: Daniel dan Gideon Sugiono (gembala Sidang
GBIS Bareng – kini Pdt. Gideon Sugiono). Dalam perbincangan-perbincangan di
antara mereka, diputuskan untuk mengadakan Fellowship Pemuda GBIS Kelompok II
meliputi antara lain Malang, Lawang, Pandaan, Pasuruan (Pdt.
Johannes Soemantri), Bangil, Mojoagung dan sekitarnya, Lumajang, Asembagus,
Surabaya. Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan meminjam Gedung SDN Lawang I
di kota Lawang pada tahun 1982 selama 3 hari.
Di luar dugaan, Fellowship tersebut mendapat pehatian
cukup besar, lebih dari 200 pemuda dari GBIS kelompok II Jawa Timur hadir.
Kesan fellowship tersebut begitu mendalam, sampai akhirnya pemuda-pemuda GBIS
memutuskan menyelenggarakan fellowship PPB se-Jawa Timur di GBIS Mojoagung pada
tahun 1983. Dalam Fellowship PPB se-Jawa Timur/Bali tersebut sekaligus dibentuk
PPB Komda Jatim/Bali. Sebagai Ketua dan Sekretaris adalah Pdt. David Soemantri
dan Pdt. Stevanus Sarosa, dan sebagai bendahara Sdr. Daniel. PPB Komda
Jatim/Bali adalah Komda pertama yang “lahir” dalam lingkungan Badan Persekutuan
GBIS, justru saat PPBSI sendiri masih “ketiduran”. Dalam fellowship di
Mojoagung itu juga diputuskan untuk menyelenggarakan Kamp Pemuda GBIS dengan
mengundang PPB-PPB se-pulau Jawa.
Hingga saat ini, KPR PBIS telah dilaksanakan selama 7
(tujuh) kali sebagai berikut:
·
KPR I di Lawang tanggal 19 – 21 Juni 1984.
·
KPR II di Tawangmangu tanggal 24- 27 Juni 1986.
·
KPR III di Lembang tahun 1988.
·
KPR IV di Tawangmangu tahun 1994.
·
KPR V di Bandung tahun 1998.
·
KPR VII di Tawangmangu tahun 2002.
Yang hadir dalam setiap KPR tersebut berkisar antara
300-560 pemuda dari 50 PPB se-Indonesia.
Wanita Bethel Injil Sepenuh (WBIS)
Gaung kegiatan pemuda tersebut diikuti juga oleh
kegiatan Wanita GBIS yang dikenal dengan WBIS. Hingga saat ini telah diadakan
beberapa kegiatan WBIS sebagai berikut:
·
Fellowship Nasional WBIS, tanggal 21-22 Mei 1986 di Tawangmangu.
·
Fellowship Nasional WBIS, diselenggarakan Oktober 1988 di Kinasih.
·
Pertemuan Raya I, tanggal 13–16 Oktober 1992 di Batu.
·
Pertemuan Raya II, tanggal 19–22 Maret 1996 di Karangpandan.
·
Pertemuan Raya III, tanggal 14–17 Maret 2000 di Batu.
Yang hadir di pertemuan-petemuan di atas berkisar
antara 300-400 peserta.
Di samping kegiatan-kegiatan yang berskala nasional
tersebut, masih banyak kegiatan yang dilaksanakan baik oleh PBIS maupun WBIS
yang bersifat regional dan semi nasional. Misalnya pertemuan serjana GBIS pada
tanggal 8 Mei 1997 di Solo, Temu Alumni Sarjana Theologia yang berasal dari
jemaat GBIS pada tanggal 14 Juni 1997 di Jakarta, yang diselenggarakan oleh
PBIS maupun Seminar “Akhir Zaman” yang diadakan oleh WBIS pada bulan November
1999 di Jabar, Jateng, dan Jatim. Perlu juga dicatat kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan oleh seksi-seksi baik seksi Penginjilan, seksi Sekolah Minggu,
Seksi Pendidikan dan sebagainya.